Andalan
Diposkan pada artikel, Opini

Pembuatan E-Paspor, mudah tidak sih?


Kemarin saya baru saya mengajukan pembuatan e-paspor di Kantor Imigrasi Kelas I Jakarta Pusat. Kebetulan memang tahun ini masa berlaku paspor saya habis. Kebetulan juga harus mengajukan paspor barunya di Jakarta, gak di Bandung. Kenapa?

Oke, kita mulai pembahasan dari alasan mengapa saya memilih membuat e-paspor daripada paspor biasa.

Menurut berbagai artikel yang bertebaran di internet, e-paspor memiliki beberapa kelebihan di antaranya (1)  e-paspor memiliki chip sehingga data pemilik paspor lebih aman, (2) lebih mudah dalam pengajuan visa, (3) mendapat hak autogate di bandara, jadi gak perlu lagi deh antre menunggu giliran untuk dicek paspornya, baca beritanya di sini, (4) sebenarnya pemerintah saat ini lebih menyarankan kita, warga Indonesia, untuk membuat e-paspor daripada paspor biasa, beritanya bisa dicek di sini, dan (5) beberapa negara memberikan hak spesial untuk pemegang e-paspor berupa bebas visa. Karena beberapa alasan itulah saya memilih e-paspor daripada paspor biasa. Ya… walaupun belum tahu kapan bisa ke Jepang dan negara-negara itu ya.

Alasan berikutnya adalah terjadinya kendala ketika mau membuat antrean paspor online di Kantor Imigrasi Kelas I Kota Bandung, seperti yang sudah saya tulis di sini. Tanpa antrean paspor online, mana mungkin kita bisa mengajukan pembuatan paspor baru, ya gak? Jadi, paspor online atau antrean paspor online ini adalah syarat pertama yang mutlak untuk dipenuhi.

Selain itu, saya memang sudah berniat kalau saya tidak bisa membuat paspor baru di Kantor Imigrasi Kelas I Kota Bandung, saya akan memilih Jakarta karena bila dibandingkan dengan membuat paspor di kantor imigrasi lain di kota-kota yang dekat dari Bandung, di Jakarta saya bisa langsung mengajukan e-paspor.

Mengapa Jakarta? Setidaknya ada 2 alasan saya memilih Jakarta. Pertama, sistem transportasi mudah. Jarak Bandung-Jakarta cukup dekat dengan naik kereta, ongkos terjangkau dan pastinya nyaman, waktu tempuh juga hanya 3 jam. So, daripada ke Cirebon atau Bogor atau Purwakarta, saya lebih memilih Jakarta. Kedua, bisa sekaligus mengajukan e-paspor. Seperti yang sudah saya sampaikan sebelumnya, di Jakarta mah kita bisa mengajukan e-paspor. Coba di Cirebon atau Purwakarta, ya ujung-ujungnya paspor biasa.

Sekadar informasi, pembuatan e-paspor belum bisa dilakukan di semua kantor imigrasi. Berdasarkan artikel-artikel yang bertebaran di internet, saat ini e-paspor hanya bisa dilakukan di 3 kota besar yaitu Jakarta, Surabaya, dan Batam. Akan tetapi, berdasarkan artikel yang dimuat di Republika pada Desember tahun 2018, menyebutkan bahwa kantor imigrasi di beberapa kota lain juga sudah bisa menerbitkan e-paspor. Kantor imigrasi tersebut adalah kantor imigrasi di Medan, Ngurah Rai, Manado, Balikpapan, Malang, Surakarta, Tanjung Perak, Makassar, Polonia, Tangerang, Bandung, Bogor, Semarang, Yogyakarta, Banda Aceh, Jayapura, Depok, dan Bekasi. (Tapi sejauh yang saya tahu dan berdasarkan pengalaman teman-teman saya membuat paspor di kota-kota yang tadi disebutkan bisa membuat e-paspor, ternyata belum bisa ya! Jadi, kalau mau membuat e-paspor lebih baik ke Jakarta ada kota lainnya yang sudah sejak lama membuka layanan pembuatan e-paspor. Adapun kota-kota lainnya pasti akan membuka layanan pembuatan e-paspor juga, tapi entah kapan mulainya).

Catatan!

Sebelum memutuskan membuat e-paspor di kota kalian, cek dulu apakah kanim (kantor imigrasi) di kota tersebut benar-benar sudah menyediakan layanan pembuatan e-paspor atau masih melayani paspor biasa saja.

PROSES PEMBUATAN E-PASPOR

Nah, ini yang ditunggu-tunggu kan? Ternyata cukup banyak teman saya di Instagram yang mau tahu proses pembuatan e-paspor. Langsung saja, berikut tahap-tahapnya.

  1. Ambil antrean online melalui aplikasi maupun situs web. Sekadar informasi: (a) antrean paspor online yang sering disebut ‘paspor online’ ini tidak berupa nomor antre ya, hanya berupa bukti fisik bahwa kita sudah mendaftarkan diri untuk membuat paspor. Nomor antre akan didapatkan di kantor imigrasi setelah semua berkas diserahkan. (b) paspor online dan e-paspor itu berbeda. Paspor online adalah aplikasi atau cara untuk mendapatkan antrean di kantor imigrasi, sedangkan e-paspor adalah paspor yang dilengkapi dengan chip dan memiliki beberapa kelebihan dibandingkan paspor biasa.
  2. Siapkan semua dokumen yang diperlukan: print bukti (antrean) paspor online, fotokopi KTP, KK, akta kelahiran, ijazah terakhir, dan paspor (halaman depan dan belakang, yang ada informasi diri). Perlu diingat bahwa pastikan semua fotokopian dalam ukuran kertas A4, jangan dipotong! (Maksudnya fotokopian KTP dan paspor jangan dipotong ya!) — Sebagai bentuk antisipasi, pastikan kalian juga membawa dokumen aslinya, bukan hanya fotokopiannya. Saya sendiri kemarin membawa akta kelahiran dan ijazah terakhir walau pada akhirnya gak dipakai, pun gak  ditanyakan oleh petugasnya. Yang ditanyakan hanya KTP asli dan paspor asli. Itu saja. Tapi sekali lagi, berjaga-jaga lebih baik daripada harus bolak-balik ke kantor imigrasi, kan? Jadi, bawa saja dokumen aslinya.
  3. Mengisi formulir permohonan e-paspor. Di kantor imigrasi, kalian akan melihat beberapa formulir dan surat keterangan, kalau mau silakan baca dulu supaya kalian tidak salah pilih formulir. Nah, tapi formulir untuk e-paspor ini warnanya biru. Silakan ambil, lalu lengkapi data yang diperlukan. Sekali lagi, sebelum mengisi formulir, silakan dibaca dahulu setiap detailnya, biar gak salah isi.
  4. Kumpulkan semua dokumen (formulir e-paspor, bukti antrean paspor online, fotokopi KTP, fotokopi KK, fotokopi akta kelahiran, fotokopi ijazah, dan fotokopi paspor) ke dalam map kuning. Nanti, di kantor imigrasi disediakan 2 jenis map: map kuning dan map biru. Silakan ambil map kuning karena map biru itu untuk prioritas (untuk orang yang berusia 60 tahun ke atas).
  5. Serahkan map yang sudah diisi dengan dokumen kalian itu ke petugas di meja pendaftaran.
  6. Petugas akan memberikan nomor antrean dan memberi tahu kita harus menunggu di mana, apakah di lantai 1 atau di lantai 2. Tapi biasanya lantai 2 sih, soalnya lantai 1 mah untuk yang prioritas (lansia).
  7. Duduk saja sambil menunggu nomor kalian dipanggil. Untuk pelayanan di Kantor Imigrasi Kelas I Jakarta Pusat sendiri cukup cepat. Waktu itu saya harus mengantre 56 orang. Saya pikir saya akan menunggu lama. Tapi ternyata tidak! Mengantre 56 orang hanya perlu waktu sekitar 50 menitan saja! Luar biasa kan? Nah, tapi bisa jadi pengalaman setiap orang berbeda. Karena eh karena, saya pernah baca artikel seseorang yang mencoba membuat e-paspor, ternyata dia harus menunggu selama 2 jam! Baca beritanya di sini. Terus, dia menyarankan pembacanya untuk membawa bacaan, biar gak kesel menunggu. Saya sendiri bawa novel sih, hehe… (antisipasi lebih baik daripada uring-uringan di akhir, kan?)
  8. Setelah nomor dipanggil, masuklah ke konter sesuai dengan konter yang disebutkan oleh layar monitor. Contoh: Nomor 2-270 di konter 7. Nah, perginya ke konter 7 ya, jangan ke konter yang asal kosong aja.
  9. Sebelum difoto, biasanya petugas akan menanyakan beberapa hal: (1) mengapa membuat paspornya di Jakarta, mengapa tidak di Bandung? Ya… saya sih jawab apa adanya. Berhubung di Bandung lagi eror, jadi saya pilih Jakarta. Gitu. (2) pekerjaannya apa dan tinggal di mana? (3) ada rencana ke luar negeri gak? Kapan? Ke mana?
  10. Setelah selesai proses wawancara, petugas akan menginput sidik jari kita. Nah ini juga yang (katanya) membedakan e-paspor dengan paspor biasa. Tapi, emang kalo paspor biasa gak perlu sidik jari ya? (Maklum, saya gak ingat, dulu waktu pertama kali bikin paspor pake input sidik jari atau engga. Lima tahun sudah berlalu! Lupa!)
  11. Wawancara selesai, sidik jari selesai, selanjutnya FOTO. “Boleh tersenyum, tapi jangan sampai terlihat giginya ya,” pasti petugas akan bilang kayak gitu.
  12. Terakhir, petugas akan memberikan sebuah BUKTI PENGANTAR PEMBAYARAN (untuk transaksi pembayaran paspor) dan PETUNJUK SISTEM INFORMASI GATEAWAY PASPOR (ini untuk mengetahui statis permohonan paspor dan untuk mengetahui paspornya sudah jadi atau belum).
Petunjuk yang diberikan oleh petugas kantor imigrasi mengenai pengecekan status paspor

Sudah deh. Bisa langsung pulang. Prosesnya gak lebih dari 10 menit. Pengecekan status permohonan paspor dapat dilakukan sehari setelah pembayaran. Sementara paspor bisa diambil 4 hari setelah pembayaran. Bagaimana, cukup jelas dan mudah kan?

Oh ya, biaya pembuatan e-paspor ini Rp650.000,00 (enam ratus lima puluh ribu rupiah). Jangan lupa memakai pakaian yang sopan dan rapi, gak harus formal kok! Oh ya, ada lagi, jangan memakai baju berwarna putih dan jangan memakai lensa kontak mata. Usahakan rapi serapi-rapinya ya, soalnya foto kalian bakal dipajang di paspor kalian untuk 5 tahun ke depan. Gak mau kan kalau kitanya terlihat acak-acakan di foto paspornya?! Hehe…

Ketika mengambil paspor, jangan lupa untuk membawa bukti pembayaran dari bank dan bukti pengantar pembayaran (dari kantor imigrasi). Sudah, itu saja.

Kalau ada pertanyaan, silakan tulis di kolom komentar ya. Insyaallah saya jawab semampu saya, hehe…

Terima kasih sudah membaca dan berkunjung ke blog saya. Jangan lupa subscribe supaya gak ketinggalan info dan artikel menarik lainnya dari saya, hehe…

Diposkan pada Kisahku, Opini

Malam Tanpa Listrik


Bandung, 4 Agustus 2019, sejumlah tempat di Pulau Jawa sejak siang tadi mengalami pemadaman listrik. Penyebab dan kejadiannya bisa Anda cari di Google ya, hehe…

Nah, dari pemadaman ini aku mengingat kembali masa kecilku, di mana saat teman-teman sebayaku di kota dan kabupaten lain sudah menikmati terangnya malam karena sudah ada listrik, di desaku belum ada.

Saat itu, setiap sore menjelang waktu magrib, omku akan memompa lampu petromaks untuk penerangan malam di rumah kami. Keluargaku termasuk yang beruntung karena dapat menggunakan lampu petromaks. Sementara keluarga teman-temanku hanya menggunakan lampu ceplik atau damar ceplik. Damar ceplik adalah lampu damar yang menggunakan minyak tanah sebagai sumber energinya, lalu dihubungkan melalui sumbu. Semakin panjang sumbu yang muncul di permukaan, semakin besar apinya, semakin kecil sumbu yang muncul di permukaan, semakin kecil pula apinya. Lalu, sumbu dan apinya akan ditutup pakai kaca damar yang bercorong.

Setelah malam datang, anak-anak tidak ada yang bermain di luar rumah. Anak-anak berada di pangkuan ibunya. Kadang ibu-ibu atau nenek-nenek mereka akan nyaliksik, sejenis kegiatan mengusap kepala dan menelusuri setiap helai rambut di kepala. Ya, aku juga pernah mengalaminya. Kalau rambutku disaliksik, aku akan tertidur.

Di lain kesempatan, antara aku dan anak-anak kecil di sekitar tempat tinggalku, kami akan bermain petak umpet. Biasanya sambil dipantau oleh orang-orang tua kami. Bermain petak umpet sebenarnya sangat mengkhawatirkan bagi orang tua kami. Kenapa? Karena kami percaya ada sosok makhluk gaib yang akan menculik anak-anak yang bermain di malam hari. Oleh karena itulah, kami tidak bisa sering-sering bermain petak umpet di malam hari. Kalaupun bermain, itu tidak boleh jauh-jauh dari rumah dan pengawasan orang tua.

Di lain sisi, kadang ayahku suka berdongeng tentang “Sakadang Kuya jeung Sakadang Kelinci”, tentang “Si Monyet yang Nakal”, atau tentang lagu harimau, atau kadang berdongeng tentang apapun dengan menggunakan pulpen berkepala golek yang aku dapatkan ketika berlibur ke Batu Raden atau ke Jogja. Ayah akan berdongeng sampai aku akhirnya tertidur. Jadi, gelap tak pernah menjadi masalah untuk masa kecilku.

Orang-orang di desa yang akan bepergian di waktu malam, biasanya mereka akan membawa obor, persis seperti di film-film jadul. Iya, serius! Kalau mereka tak punya obor, ya mereka akan berjalan saja dalam gelapnya malam. Kalau mereka beruntung, bulan dan bintang akan menjadi penerang jalan malam mereka, kalau tidak beruntung ya entahlah. Oh ya, kadang ada beberapa rumah yang menyediakan damar ceplik di depan rumah mereka sebagai penerangan jalan. Tapi tidak banyak. Nah, damar-damar ceplik inilah yang menjadi penerang jalan malam mereka.

Begitulah situasi di desaku saat aku kecil. Listrik masuk desaku sekitar tahun 1995. Itu berdasarkan perhitungan akan ingatanku ya. Soalnya saat itu aku belum masuk SD. Aku masuk SD tahun 1997.

Masih ingat ketika petugas PLN mulai membuat lubang dan menancapkan satu per satu tiang beton untuk menyangga kabel-kabel listrik di desaku. Aku ingat, karena saat itu aku sedang bermain burok-burokan dengan temanku, Ipah namanya.

Lalu, setelah PLN masuk desa, aku ingat betul siapa yang mempunyai televisi berwarna pertama kali di sekitar tempat tinggalku, yaitu Mbah Gabug. Beliau disebut “gabug” karena tidak mempunyai anak kandung sampai usianya lanjut. Kemudian orang yang kedua yang mempunyai TV berwarna adalah Mih (Mamih) Ning. Dan yang ketiga adalah nenekku. Omku, adik ibu yang paling tua, bekerja sebagai pelaut, jadi setiap kali dia gajian dia akan membeli berbagai barang tersier di rumah seperti TV, radio tape, dan kulkas. Tak tanggung-tanggung, omku akan membeli produk dengan merek yang sudah terjamin kualitasnya.

Begitulah masa kecilku. Kadang aku ingin menuliskannya menjadi sebuah novel, persis seperti yang Andrea Hirata lakukan. Aku benar-benar terinspirasi oleh Andrea Hirata. Tapi, menulis novel seperti itu sungguh tak mudah. Alhasil novelku tak pernah tuntas diceritakan dalam lembaran-lembaran Microsoft Word.

Nah, kembali tentang padamnya listrik malam ini, sebenarnya tidak terlalu masalah buatku. Tapi, yang menjadi masalah adalah hampir semua barang yang digunakan manusia zaman sekarang bersumber pada listrik, termasuk air, HP, jaringan telepon seluler, dan lain-lain. Jadi, dengan matinya listrik, mati pulalah gaya kami.

Terkini. Listrik sudah kembali menyala di daerah Geger Kalong, Sukasari, Bandung, sekitar pukul 10 malam tadi. Semoga pemadaman listrik tadi memberikan banyak hikmah bagi kalian yang mau berpikir tentang hikmah apa dari kejadian tadi. Semoga juga kita belajar tentang bagaimana hidup seandainya kembali seperti dulu, tak ada listrik. Semoga kejadian tadi tidak menimbulkan korban. Semoga kejadian tadi tidak terulang lagi di masa depan ya.

Oke, itu saja yang dapat saya ceritakan malam ini. Terima kasih sudah membaca dan berkunjung di blog saya.

Diposkan pada umum

Nomor-nomor penting di Indonesia


Beberapa waktu yang lalau, saya ditanya oleh salah seorang murid saya. Dia bertanya, “Berapa nomor darurat di Indonesia?”

Saya bingung karena seumur hidup saya di Indonesia saya tidak pernah mengetahuinya. Lalu, saya katakan bahwa saya tidak tahu. Murid saya lantas bingung dan terkejut, mengapa gurunya yang orang Indonesia ini tidak tahu nomor darurat di Indonesia? Bagaimana kalau terjadi sesuatu? Bagaimana kalau terjadi kriminalitas? Bagaimana kalau terjadi kebakaran? Bagaimana kalau terjadi kecelakaan?

Lalu saya dengan pedenya berkata bahwa saya yakin bukan hanya saya yang tidak tahu nomor darurat di Indonesia, bisa dikatakan kebanyakan orang Indonesia tidak mengetahuinya. Walaupun kata-kata saya tersebut tidak berdasarkan survey atau penelitian, tetapi saya yakin bahwa mayoritas orang Indonesia tidak tahu nomor-nomor darurat di Indonesia.

Nah, untuk itulah saya akan menuliskan nomor-nomor penting di sini. Tujuannya tidak hanya untuk orang asing, tetapi juga untuk kita-kita orang Indonesia.

Nomor darurat biasanya hanya terdiri atas 3 angka, seperti panggilan-panggilan darurat melalui 911 atau 119 yang biasa kita tonton di film-film. Hehe

  • Ambulan: 118, 119
  • Polisi: 110, 112, (021) 52550110
  • Pemadam kebakaran: 113, 343, 1309, 7507
  • SAR (Search And Rescue): 115, 550, 1111, 2111
  • Gangguan listrik: 123
  • Semoga informasi ini bermanfaat ya! 🙂

    Diposkan pada artikel

    Petualangan Perdana ke Berlin


    Badenburgertor
    Badenburgertor di sore hari (dokumentasi pribadi)

    Tahun lalu saya tinggal di Jerman selama enam bulan. Berbagai rasa saya lewati, mulai dari senang, kagum, takjub, sedih, sepi, dan akhirnya menangis karena harus berpisah dengan orang-orang yang saya kenal di Jerman.

    Dari sekian banyak petualangan yang saya dapatkan di Jerman, ada satu pengalaman yang tidak boleh saya lupakan. Maka dari itu, saya akan tulis petualangan dan pengalaman itu di sini.

    Mei 2018, beberapa mahasiswa saya dari HTWG Konstanz, Jerman, mengikuti lomba berpidato dan bercerita rakyat. Mereka adalah Sofie, Khushbu, Freddy, Shirin, Tobi, dan Samantha. Saya ingin sekali mendukung dan melihat performa mereka ketika berpidato dan bercerita rakyat. Saya tahu saya tidak akan mendapat kesempatan ini dua kali. Jadi, saya memesan tiket untuk pergi ke Berlin sehari sebelum perlombaan dengan baik FlixBus.

    Keterlambatan FlixBus di Konstanz adalah sesuatu yang cukup sering terjadi. Beberapa orang mengatakan bahwa penyebabnya adalah kemacetan yang terjadi di jalan menuju Konstanz.

    Ini adalah kali kedua saya naik FlixBus seorang diri. Waktu tempuh dari Konstanz ke Berlin sekitar 12 jam. Tapi, karena saya memilih perjalanan malam, jadi saya bisa tidur di dalam bus. Saya sudah bertanya kepada beberapa kawan di Jerman mengenai keamanan naik FlixBus di malam hari. Jawabannya, aman. Pengalaman saya juga membuktikannya, aman kok. Hanya saja kadang ada beberapa orang yang sangat berisik karena mabuk dan hal ini tidak bisa saya hindari. Menurut saya, biarkan saja mereka mabuk asalkan tidak mengganggu saya dan penumpang lainnya.

    Menjelang waktu keberangkatan, saya menunggu FlixBus di bus station Konstanz yang lokasinya tak jauh dari Kota Tua Konstanz. Mba Komang, kawan yang mau berbagi ruang di rumahnya dengan saya, berkali-kali bertanya, “Kamu tahu busnya yang mana? Bisa kan pergi sendiri ke Berlin? Gak ada yang ketinggalan, kan?” Saya menjawab dengan keyakinan bahwa semua yang saya perlukan sudah saya bawa. Saya hanya perlu menunggu bus saya, lalu naik, lalu sampai di Berlin. Akhirnya, Mba Komang pulang duluan dan saya menunggu di stasiun bus bersama beberapa penumpang lainnya.

    Waktu menunjukkan pukul 19.20. Waktunya saya bersiap naik bus saya. Tapi, tak ada tanda-tanya kedatangan bus saya. Aneh!

    Lalu, datang sebuah bus yang ukurannya tidak terlalu besar untuk ukuran bus antarkota yang jaraknya jauh. Biasanya busnya agak besar kalau perjalanannya jauh. Sebaliknya, bus kecil hanya digunakan untuk perjalanan jarak dekat misalnya Konstanz-Zurich.

    Saat itu bahasa Jerman saya masih sangat sangat sangat terbatas, bahkan terbata-bata. Saya hanya mengerti apa yang orang Jerman katakan, tetapi saya tidak bisa menjawabnya dengan bahasa Jerman. Saya hanya tahu beberapa ungkapan dalam bahasa Jerman seperti Dankeschön, Danke, bitte, Entschuldigung, es tut mir laid, was ist das, genau, dan tentu saja ja und nein.

    Ketika bus itu datang, beberapa penumpang ditolak sopir bus dan disuruh menunggu. Saya mengerti sedikit yang dia katakan, tetapi sulit bagi saya memastikan apalah ini bus saya atau bukan. Apakah saya juga harus menunggu bus yang akan datang atau inilah bus saya. Saya bingung. Terlebih lagi sopir busnya tidak bisa berbahasa Inggris. Matilah aku!

    Tiba giliran saya untuk menunjukkan tiket FlixBus dan juga paspor. Anehnya sopir bus tidak mengatakan apa-apa. Saya pikir kalau dia tidak mengatakan apa-apa, artinya semuanya baik-baik saja, semuanya benar, semuanya sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku. Akhirnya, dengan sedikit keraguan saya naik FlixBus itu.

    Tak lama setelah saya naik, perasaan saya tidak tenang, seperti ada sesuatu yang salah. Sepertinya ini firasat buruk. Ah, daripada menduga-duga, lebih baik saya bertanya kepada penumpang lain. Di sana ada seorang ibu berambut pendek.

    Dengan bertanya terlebih dahulu apakah dia bisa berbahasa Inggris atau tidak, saya tanyakan kepada dia apakah bus ini mengarah ke Berlin. Dengan terkejut dia bilang, “Oh no! Bagaimana ini? Kamu salah naik bus! Ini bus ke Zurich, bukan ke Berlin.”

    Mendengar kata-kata itu, saya bingung, tapi juga harus tetap tenang. Bus sudah jalan. Walaupun masih di Kota Konstanz, tapi saya tidak bisa minta turun begitu saja, tidak seperti di Indonesia. Aduh bagaimana ini? Saya tidak mau melewatkan kesempatan melihat mahasiswa saya berlomba di Berlin besok!

    Dengan tenang dan tersenyum, ibu berambut pendek itu menawarkan bantuan. Tentu saya tidak menolaknya. Saya berharap ada bus yang akan berangkat ke Berlin dari Zurich. Atau kereta, atau pesawat! Apapun! Asalkan bisa pergi ke Berlin.

    Dalam perjalanan menuju Zurich, yang mana bukan tujuan saya yang sebenarnya, saya mencari tiket pesawat, tiket kereta, dan tiket FlixBus. Sayangnya NIHIL! Mengapa semua tiket tidak tersedia? Karena waktu kedatangan saya di Zurich sudah terlalu malam untuk memesan tiket. Kalau tidak salah saya tiba di Zurich pukul 21.15.

    Tiket kereta tidak ada. Tiket pesawat tidak ada, eh ada tapi super duper mahal, sampai 330€ lebih! Aduh, bagaimana ya?

    Ibu berambut pendek ini berusaha membantu saya mencarikan jalan keluar. Dia bertanya ke sana dan ke sini dengan menggunakan bahasa Jerman. Sayang, nihil. Akhirnya, mau tidak mau saya pulang lagi ke Konstanz dan tiba di Konstanz sekitar pukul sebelas malam.

    Begitu sampai rumah Mba Komang, saya bertemu dengan Flo, saya minta tolong kepada dia untuk bersama-sama mencari tiket kereta menuju Berlin. Sayang, tidak menemukan apapun.

    Tiga puluh menit kemudian Mba Komang datang. Saya juga meminta tolong kepada Mba Komang untuk mencarikan tiket kereta. Ketemu! Akhirnya dapat juga tiket kereta, tapi harganya super duper sangat amat mahal! Gila, 150€! Tapi, saya harus rela mengeluarkan uang sebanyak itu demi melihat mahasiswa saya di Berlin. Setelah transaksi selesai, tiket online sudah di tangan, saya ceritakan apa yang terjadi kepada Mba Komang dan Flo.

    Keesokan harinya.

    Saya naik kereta dari stasiun kereta Konstanz sekitar pukul 5 pagi. Tapir kereta ini tidak langsung membawa saya ke Berlin, melainkan ke Karlsruhe. Dari Karlsruhe saya berganti kereta ICE. Katanya sih kereta ICE lebih cepat dan lebih mahal.

    Setelah naik kereta ICE, saya bingung mau duduk di mana karena di tiket saya tidak ada nomor kursinya. Lalu saya mengikuti pemuda Jerman yang asal duduk di kursi kosong. Lumayan ganteng, eh!

    Tak lama kemudian, ada beberapa pria berotot meminta saya keluar dari kursi yang saya duduki. Dia bilang bahwa dia sudah memesan nomor kursi itu. Ah, lalu saya bagaimana? Kereta sangat penuh saat itu. Akhirnya saya bertanya kepada petugas kereta yang kebetulan mengecek tiket saya. Dia bilang bahwa dalam tiket saya tidak ada keterangan pemesanan nomor kursi, jadi tunggu saja sampai ada kursi yang kosong lagi. Saya pun menunggu, detik demi detik, menit demi menit, bahkan jam demi jam, hingga saya tiba di stasiun kereta Hannover. Empat jam saya berdiri-jongkok-berdiri-duduk di lantai, begitu terus sampai tiba di Hannover Hauptbahnhof. Dari Hannover saya naik kereta menuju Berlin. Kali ini saya tahu bagaimana cara mengenali kursi yang belum di-booking. Lumayan, perjalanan 2 jam terakhir ini saya tidak perlu berdiri. Saya menemukan spot untuk duduk.

    Saya bingung dan kaget, mengapa ada sistem seperti ini di Jerman. Maksudnya, jika memang kereta sudah penuh dengan penumpang, mengapa masih membuka penjualan tiket kereta, bahkan dengan harga berkali-kali lipat! Di Indonesia, walaupun sistem transportasi umumnya belum secanggih di Jerman, tetapi tidak pernah ada hal seperti ini, di mana penumpang harus berdiri atau duduk di depan toilet kereta karena tempat duduknya sudah penuh. Tidak pernah, kecuali mungkin KRL di Jakarta. Itu pun kereta lokal, bukan kereta jarak jauh seperti kereta ICE ini.

    Setelah sampai di Berlin Hauptbahnhof, saya langsung cari jalan keluar dan mencari taksi. Saya tidak mau memakai tram atau bus. Takut nyasar.

    Sopir taksi menanyakan alamat yang saya tuju. Saya bilang, maaf bisa pakai bahasa Inggris? Bahasa Jerman saya tidak bagus. Lalu dia bilang, oh tentu saja. Fasih! Ternyata dia imigran, jadi dia bisa berbahasa Inggris. Tapi bukan hanya sopir taksi ini yang fasih berbahasa Inggris, di Berlin banyak orang mampu berbahasa Inggris, tetapi di kota lainnya tidak banyak yang mau dan bisa berbahasa Inggris. Ada yang terbata-bata, ada juga yang langsung ignoring ketika saya berbahasa Inggris.

    Setelah sampai di Rumah Budaya, saya bertemu dengan mahasiswa saya. Tampak ketegangan dalam wajah mereka. Beberapa masih berusaha menghafal teksnya. Di Rumah Budaya, saya juga bertemu dengan Ibu Gudrun dan Atdikbud KBRI Berlin.

    Acara dimulai. Semua peserta tampak memukau. Saya tidak menyangka bahwa orang Eropa pun mau belajar bahasa Indonesia.

    Setelah semua selesai, panitia mengumumkan hasilnya. Ternyata mahasiswa HTWG Konstanz berhasil mendapat JUARA 1 LOMBA BERCERITA RAKYAT, dialah Samantha. Samantha menampilkan cerita rakyat tentang Timun Mas. Penampilannya sangat epik dan memukau. Dia sangat total ketika menampilkannya.

    Foto bersama peserta dan panitia lomba berpidato dan bercerita rakyat di Rumah Budaya, Berlin (Mei 2018)
    Foto bersama peserta dan panitia lomba berpidato dan bercerita rakyat di Rumah Budaya, Berlin (Mei 2018)

    Sebenarnya, semua mahasiswa yang terlibat dalam perlombaaan ini menunjukkan upaya yang sangat bagus. Saya bahkan memprediksi bahwa semua juara akan diraih oleh mahasiswa saya, tetapi sayangnya tidak. Padahal, Tobi sudah tampil memukau dengan kostum khas Palembangnya dan ceritanya yang berjudul “Pak Lebai Malang”, juga Sofie yang berpidato tentang persamaan antara “Bhinneka Tunggal Ika” dengan semboyan Uni Eropa yang membuat saya menyadari satu hal menarik tentang Indonesia. Isi dan kekuatan pidato Sofie sangat bagus sebenarnya, tetapi sayangnya dia tidak terpilih sebagai juaranya.

    Jadi, begitulah perjalanan perdana saya ke Berlin. Luar biasa! Mulai dari salah naik bus, lalu naik kereta dengan ongkos super mahal tetapi tidak dapat tempat duduk. Tapi, semua terbayar dengan penampilan mahasiswa HTWG Konstanz yang memukau, sangat menarik! Terlebih dengan terpilihnya Samantha sebagai juara 1 lomba bercerita rakyat.

    Selesai lomba, saya dan Sofie jalan-jalan ke Badenburgertor dan ke tempat-tempat ikonik lainnya di Berlin. Setelah selesai jalan-jalan, saya dan semua mahasiswa makan di Kedai Vietnam sambil menonton pertandingan sepak bola. Ternyata hari itu adalah final pertandingan sepak bola di Jerman. Pantas saja kereta sangat penuh! Mungkin pertandingan final itulah penyebabnya.

    Diposkan pada artikel, Opini

    Kendala Antrean Paspor Online


    Artikel yang saya tulis kali ini bukan sesuatu yang baru sebenarnya. Soalnya beberapa kali saya cek dari cari informasi sana-sini tentang antrean paspor online, hm… sudah banyak artikel yang menulis tentang paspor online. Akan tetapi, sayangnya tidak ada yang menjawa pertanyaan sekaligus keluhan saya tentang “kenapa aplikasi dan web antrean paspor online selalu penuh”, “kenapa kalaupun ada slot kosong, tapi gak bisa di-booking“, kenapa… kenapa… dan kenapaaaaaa?

    Oke, jadi saya mau sedikit bercerita tentang proses dan kendala antrean paspor online, baik melalui aplikasi maupun melalui situs web antrean paspor online.

    img_1491Jika Anda membuat antrean paspor online melalaui aplikasi, maka Anda harus mengunduh aplikasi seperti dalam gambar di samping ini. Mengapa saya cantumkan gambar aplikasi ini? Sebab gambar aplikasi paspor online yang tersebar di internet berbeda dengan aplikasi yang sudah saya unduh. Artinya, bisa saja aplikasi ini sudah diperbarui oleh Ditjen Imigrasi.

    Setelah mengunduh aplikasi, Anda tidak bisa langsung meminta antrean pembuatan/perpanjangan paspor. Anda harus membuat akun terlebih dahulu dalam aplikasi tersebut. Pastikan data diri yang dimasukkan itu benar, sesuai dengan KTP/KK/akta lahir/surat keterangan diri lainnya. Tujuannya adalah untuk mempermudah proses pengisian data diri Anda ketika hendak membuat antrean paspor. Jadi, Anda tidak perlu mengisi data diri berulang-ulang ketika mau membuat antrean paspor.

    Perhatikan gambar berikut ini.

    img_1492

    img_1493

    img_1494

    img_1496

    Setelah berhasil membuat akun, Anda akan menerima posel dari Ditjen Dikti untuk memverifikasi akun Anda. Klik tautan dalam posel untuk verifikasi akun. Terus, log in di aplikasi atau web antrean paspor online seperti yang terlihat di gambar ketiga dan keempat di atas.

    Setelah log in, Anda akan melihat tampilan profil Anda dalam aplikasi/web antrean paspor online seperti dalam gambar berikut.

    IMG_1495 (1)

     

    Selanjutnya, Anda bisa memilih ANTRIAN PASPOR di barisan paling bawah, lalu pilih kantor imigrasinya. Nah, biasanya di sinilah permasalahan mulai muncul. Saya pribadi mengalami kendala pembuatan antrean paspor online ketika memilih Kantor Imigrasi Kelas I Kota Bandung. Barangkali Anda dan pembaca lainnya mengalami hal yang sama, kita bisa berbagi cerita di sini ya. Silakan tulis di kolom komentar.

    Kendala yang saya hadapi ketika memilih Kantor Imigrasi Kelas I Kota Bandung adalah antrean selalu penuh, tidak bisa pesan nomor antrean sekalipun masih ada banyak slot tersedia. ANEH, memang! Untuk kendala yang satu ini, saya sudah coba berkali-kali menggamit (mention) akun twitter Ditjen Imigrasi dan menyampaikan kendala yang terjadi, tetapi belum direspons sampai artikel ini saya muat di sini.

    Antrean paspor online dibuka mulai hari Jumat, pukul 14.00, sampai hari Minggu, pukul 16.00. Anehnya, Kantor Imigrasi Kelas I Kota Bandung ini tidak bisa membuat antrean paspor online, sekalipun sejak menit pertama pendaftaran antrean dibuka. Saya dibuat kesal oleh aplikasi maupun web Ditjen Imigraso ini. Bagaimana tidak, saya sudah siap-siap dari jam 2 siang, tetapi sampai jam 4 sore saya masih belum berhasil membuat antrean paspor online. Mengeluh kepada Ditjen Imigrasi pun tidak direspons, padahal jika dilihat di Twitter Ditjen Imigrasi, bukan hanya saya loh yang mempertanyakan hal ini dan bukan kali ini saja loh hal ini terjadi, tetapi sejak setahun yang lalu (mungkin saja tahun-tahun sebelumnya juga ada kendala seperti ini). Lihat gambar berikut.

    img_1478

    img_1479

    img_1477

    Ketidakbisaan pembuatan antrean paspor online seperti itu tidak hanya berlaku di aplikasi loh, tetapi juga di situs webnya. Saya sudah mencoba berkali-kali, tetapi selalu tidak bisa, hingga akhirnya saya menyerah dan akan mencoba lagi pada malam harinya.

    Pada malam harinya, saya coba kembali membuat antrean paspor online, Anda tahu hasilnya apa? NIHIL. Sama saja! Akhirnya saya putuskan untuk memilih kantor imigrasi yang di Jakarta Pusat.

    Ketika mengajukan antrean paspor online di Jakarta Pusat, tidak ada kendala yang terjadi. Lancar jaya! Saya langsung dapat antrean di Kantor Imigrasi Jakarta Pusat. Akan tetapi, perlu diingat bahwa antrean paspor online ini tidak berupa nomor antrean, melainkan hanya berupa bukti fisik bahwa Anda telah mendaftarkan diri untuk membuat dan memperpanjang paspor di kantor imigrasi yang Anda pilih.

    Kelancaran dalam proses pembuatan antrean di Kantor Imigrasi Jakarta Pusat ini terlihat jelas dari dimunculkannya slot yang kosong dan slot yang sudah dipesan. Sementara yang di Kantor Imigrasi Kelas I Kota Bandung selalu seperti dalam gambar berikut ini. (Jika Anda pegawai di Kantor Imigrasi Kelas I Kota Bandung, saya berharap artikel ini menjadi masukan agar pelayanannya bisa lebih baik lagi.)

    img_1479-1

    Setelah selesai membuat antrean paspor online di Kantor Imigrasi Jakarta Pusat, saya lega, tetapi juga bingung karena harus 2 kali ke Jakarta. Artinya, perlu ongkos minimal Rp600.000,00 untuk menjangkau kantor ini dari Bandung. Artinya lagi, biaya pembuatan/perpanjang paspor tidak hanya Rp300.000,00 (untuk paspor biasa), tetapi menjadi Rp900.000,00 dengan ongkos PP kereta tujuan Gambir-Bandung, belum lagi ojek dari Gambir menuju kantor imigrasinya.

    Simpulan atas kendala yang pertama ini adalah adanya biaya ekstra yang harus ditanggung oleh si pembuat paspor ketika ia harus membuat paspor di luar kota. Ditjen Imigrasi saya pikir belum atau tidak mempertimbangkan dampak atas kendala yang satu ini.

    Catatan tambahan: pagi tadi, sekitar pukul 4 pagi saya mendapat kabar dari teman yang juga akan membuat antrean paspor online bahwa ada banyak slot yang tersedia di Kantor Imigrasi Kelas I Kota Bandung. Akan tetapi, tadi (sekitar pukul 6.30) saya cek lagi melalui aplikasi paspor online, eh sudah eror seperti sebelumnya. Sepertinya, kalau mau membuat antrean paspor online di Kantor Imigrasi Kelas I Kota Bandung, Anda harus berjaga-jaga di waktu orang masih tidur, cobalah pada jam 1-4 dini hari.

    Nah, lanjut ke kendala yang lain ya. Kendala yang lain ini berkaitan dengan pos-el verifikasi. Saya sendiri awalnya kurang paham. Saya hanya membaca beberapa artikel dan twit, di sana warganet mengatakan bahwa mereka tidak mendapat pos-el verifikasi. Lalu, saran yang umum disampaikan adalah silakan cek SPAM. Selalu begitu. Saya bingung, pos-el verifikasi yang dimaksud di sini untuk keperluan apa ya, apakah verifikasi bahwa kita memesan antrean paspor atau verifikasi pembuatan akun di aplikasi maupun situs web Antrean Online Ditjen Imigrasi?

    Saya kurang tahu pasti tentang pos-el verifikasi yang dimaksud oleh warganet, tetapi saya sendiri tidak mendapat pos-el verifikasi ketika berhasil mendapat antrean paspor online. Yang saya ingat, saya mendapat pos-el verifikasi ketika saya membuat akun di aplikasi antrean paspor online. Itu saja.

    Untuk memastikan bahwa saya tidak melewatkan satu hal pun dalam proses mendapatkan antrean paspor online ini, saya baca-baca artikel tentang urutan dan proses pembuatan paspor online. Artikel yang membuat saya yakin adalah artikel yang satu ini. Jadi, saya yakin bahwa yang dimaksud pos-el verifikasi oleh warganet adalah pos-el verifikasi untuk yang baru membuat akun di aplikasi atau situs web antrean paspor online.

    Demikian yang dapat saya tulis untuk kali ini. Semoga ada manfaat untuk pembaca dan pengunjung blog beserta kalian-kalian pejuang paspor online yang mengalami kendala yang sama seperti saya.

    Silakan tinggalkan komentar jika ada pertanyaan. Jika saya mampu menjawab, saya akan menjawab sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman saya. Jika saya tidak mampu menjawab, maka tidak akan ada jawaban di kolom komentar Anda dan mohon maafkan ketidaktahuan makhluk fana yang satu ini. Terima kasih sudah berkunjung dan membaca artikel ini.

    Diposkan pada Bahasa & Sastra Indonesia, Puisi

    Siapkah Aku?


    awalnya dia yang kuinginkan
    akhirnya Dia yang kurindukan

    awalnya ego yang mengawal
    akhirnya nurani yang menjadi pengawal

    awalnya sebuah kesombongan
    akhirnya sebuah kekhilafan
    dan akhirnya aku bertanya,
    “Harus ke mana?”

    ketika cucuran air mata dan isak tangis tak dapat disembunyikan
    ketika raga merindukan pemilik-Nya
    ketika jiwa tak lagi berdaya
    ketika rasa …

    awalnya entah bagaimana
    sudah lupa
    terlalu drama
    dan tak perlu mengingat luka

    di titik ini,
    semua membuncah

    tangisan hati akhirnya bersuara
    meraung dalam sunyi

    tertunduk tak berdaya
    hanya berharap satu cahaya
    menerangi hati dan kepala

    tertunduk tak berdaya
    kuingat semua dosa
    kuingat kedua orang tua
    belum juga kubalas jasa mereka

    tertunduk tak berdaya
    hati mulai merindukan penciptanya
    badan teringat dengan waktunya
    pada akhirnya
    semua akan kembali kepada-Nya

    siap
    siapa yang siap
    tak pernah ada yang siap
    tak satupun manusia bilang siap
    termasuk nabi ketika itu
    dia belum siap
    terlebih teringat umatnya yang lebih tak siap lagi
    menghadapi kata siap

    la haula wala quwata illa billah

    ketika awal sudah dimulai
    maka akhir selalu mengikuti

    Siap?

    Bandung, 6 Desember 2018
    dalam renungan tangis dan tundukan kepala,
    Robita

    Diposkan pada Kisahku

    Arti Sebuah Perjalanan


    Namaku Robita. Itu adalah nama depanku, pemberian ayahku. Entah dari mana beliau mendapat ide untuk memberikan nama itu untukku. Orang-orang yang baru mengenalku pasti memanggilku dengan nama itu. Sementara orang yang sudah lama mengenalku, bahkan lebih dekat daripada alis dan mataku, mereka akan memanggilku dengan nama lain. Tentu takkan kusebutkan di sini. Rahasia.

    Kalau kuceritakan riwayat hidupku, tentu pembaca blogku ini akan kabur karena terlalu menjenuhkan dan terlalu panjang untuk dibaca. Jadi, langsung saja ya, aku akan bercerita tentang sudut pandangku tentang sebuah perjalanan.


    Sekitar sebulan yang lalu aku baru saja pulang dari Eropa. Perjalananku ini adalah kali kedua ke luar negeri. Dalam perjalanan kali ini aku berangkat dan pulang sendiri. Berbeda dengan perjalananku ke Australia beberapa tahun yang lalu. Ada 2 teman yang menemani dan sama-sama bertugas sebagai Language Assistants di Australia selama setahun.

    Perjalanan seorang diri ini dapat kukatakan sangat menantang, tetapi juga menakutkan. Terlebih ketika kutahu bahwa bahasa Inggrisku tidak terlalu terpakai di Jerman. Orang-orang yang kutemui di Jerman, lebih tepatnya di daerah Jerman Selatan, mereka sangat pasif berbahasa Inggris. Selama aku tinggal di Jerman, hanya Kota Berlin yang membuatku leluasa berbahasa Inggris.

    Sebulan pertama adalah masa tersulit tinggal di sana. Aku merasakan kehampaan karena tidak ada teman untuk bercanda atau sekadar berbagi cerita. Aku hampa ketika melihat mahasiswaku secara berkelompok pergi ke sana ke mari, mengingatkanku akan masa-masa kuliah di kampus UPI Bandung. Aku rindu teman-temanku. Lalu kukatakan pada salah seorang yang cukup sering kuhubungi di satu bulan pertama di Jerman itu, bahwa aku ingin pulang ke Indonesia. Aku rindu teman-temanku. Aku rindu kongkow bareng teman-temanku. Aku rindu bersenda gurau dengan teman-temanku. Aku rindu semuanya.

    Dulu, aku berharap akan mengunjungi Eropa dengan si belahan jiwa. Apalah daya, manusia hanya bisa berencana. Kesempatan mengunjungi Eropa datang lebih dahulu daripada si belahan jiwa yang entah di mana tinggalnya dan bagaimana rupanya.

    Setelah melalui masa satu bulan tersulit di Jerman. Lambat laun kunikmati rotasi bumi di sana. Aku mulai menemukan teman-teman baru yang dapat diajak jalan bersama, makan bersama, atau bahkan masak-masak bersama. Aku bersyukur dapat mengenal Mangga, Emma, dan Sonia. Tiga nama yang kuingat pertama kali di sana. Tak lama setelah itu, aku juga mengenal nama-nama lainnya seperti Farras, Kak Putri, Teh Pelita, Mba Komang, Raisa, Gina, dan Bonny. Sebenarnya masih ada yang lainnya lagi, tapi cukuplah mereka yang mewakili.

    Mangga dan Emma menemaniku mencari apartemen atau wohnung. Kami mengecek sebuah rumah di daerah Hegne. Agak jauh dari pusat kota Konstanz dan perlu dijangkau dengan kendaraan pribadi atau kereta. Rumahnya nyaman dan aku dapat melihat pemandangan malam Danau Konstanz dari balkon rumah itu. Pokoknya bagus.

    Tapi rumah itu tak jadi aku pilih karena ada rumah yang lebih dekat dengan kampus, yakni rumah Mba Komang. Hehehe…

    Aku bersyukur sekali dapat tinggal di rumahnya. Dia dan keluarganya sangat ramah. Inilah yang membuatku lupa dengan kehampaanku. Lama-kelamaan aku mulai menikmati tinggal di Konstanz. Aku juga mulai menyadari bahwa kota ini sangat cantik, terlebih lagi kota ini memiliki daya tarik wisata dan bangunan tua bersejarah yang masih kokoh berdiri. Bangunan tua itu lolos dari penghancuran negara Jerman ketika akhir perang dunia kedua. Konon katanya Swiss menyelamatkan kota ini dengan mengklaim bahwa kota ini adalah bagian dari Swiss sehingga bangunan di kota ini tidak hancur seperti di kota-kota lainnya di Jerman. (Sumber: temanku yang tinggal di Berlingen, Swiss, sekitar 15 menit dari Konstanz. Kalau kurang akurat, silakan dikaji lagi ya.)

    Nah, singkat cerita aku menghabiskan waktu 6 bulan di Jerman. Kebiasaan dan karakter orang Jerman sedikit demi sedikit mulai aku kenali, mulai aku pahami, dan mulai aku maklumi. Salah satunya adalah ketika matahari bersinar cerah, mereka akan pergi keluar rumah dan menghabiskan waktu bersama keluarga atau sahabat di luar rumah. Aneh bagi orang Jerman ketika melihat seseorang hanya berdiam diri di rumah ketika cuaca sangat bagus (cerah). Namun, cuaca seperti ini bukan sesuatu yang luar biasa bagiku. Di negaraku, matahari bersinar sepanjang tahun. Jadi, apa istimewanya dengan matahari yang bersinar cerah itu.

    Namun, setelah beberapa bulan di Jerman, khususnya ketika memasuki musim semi, aku mengerti mengapa orang Jerman begitu bahagia dengan cuaca cerah. Aku juga mulai menikmati cuaca cerah seperti orang Jerman pada umumnya. Obrolan tentang cuaca sudah menjadi topik basa-basi yang lumrah di sini. Aku juga mempraktikkannya dan rasanya oke juga.

    Di musim panas, matahari tidak hanya bersinar cerah, tetapi juga terik. Tenggorokanku tak dapat jauh-jauh dari air. Akan tetapi, beberapa hari lagi Ramadan tiba. Ya Allah, akhirnya aku akan mengalami puasa selama sekitar 18 jam! Akan kuatkah aku?

    Ramadan di musim panas di Eropa bukanlah ide yang baik. Sekali lagi, bukan ide yang baik! Lebih baik pulang dulu ke Indonesia, lalu kembali lagi ke Eropa ketika Ramadan selesai. Hehe…

    Namun, Ramadan di musim panas seperti ini memberiku pengalaman baru. Nanti, akan kuceritakan di episode/cerita yang berbeda. Kali ini, aku hanya ingin menyampaikan gagasanku tentang makna dari sebuah perjalanan.

    Perjalananku di Eropa memberikan banyak makna. Pertama, aku mengenal negeriku dari kacamata luar. Kedua, aku menjadi lebih menyukai negeriku daripada negara-negara di Eropa ini. Terserah bagaimana keadaannya. Ketiga, aku menjadi bersyukur karena lahir dan besar di Indonesia, di mana waktu dalam setahun tidak pernah berubah-ubah, matahari selalu cerah, dan kaya dengan sumber daya alamnya. Mau menanam apapun di Indonesia, jadi loh!

    Nah, itu hanya sebagian kecil dari makna perjalanan di Eropa. Ada yang lebih berkesan dan bermakna lagi dari perjalanan di Eropa ini. Pertama, aku menjalin silaturahmi dengan orang Jerman dan Swiss. Mereka baik, hanya saja aku terkendala bahasa Jerman. Kedua, aku juga mendapat keluarga Indonesia yang tinggal di Jerman. Kebanyakan perempuan sih, tapi mereka adalah perempuan-perempuan hebat! Mereka adalah Srikandi-srikandi Indoensia yang jatuh ke hati pria-pria Eropa. Aku belajar banyak dari mereka. Mereka juga ramah dan tetap melekat rasa keindonesiaannya. Pokoknya mereka hebat!

    Dalam setiap perjalanan ke luar negeri, inilah yang selalu kuinginkan. Inilah yang selalu ingin kubawa pulang. Rasa persaudaraan. Keluarga. Teman-teman yang terus terjaga silaturahminya. Mereka lebih berharga daripada apapun. Kalau keluar negeri hanya untuk bersenang-senang, itu sih biasa saja, menurutku. Kalau ke luar negeri hanya untuk mendapatkan uang banyak, itu juga biasa saja, setidaknya ini menurut opiniku juga. Tapi, kalau keluar negeri dan pulang ke tanah air dengan membawa banyak relasi, keluarga, dan teman, itu baru luar biasa.

    Tanteku pernah berkata, “Seribu teman masih kurang, tetapi satu musuh sudah terlalu banyak.”

    Sejak saat itu, aku selalu menikmati perjalananku untuk menambah relasi, menambah teman, dan menambah kebaikan untuk kehidupan di dunia ini.

    Itu sudut pandangku tentang sebuah perjalanan. Apa sudut pandangmu? Ceritakan di kolom komentar ya.

    NB: Sebenarnya sedang tidak terlalu mood untuk menulis, tapi kalau cerita, pengalaman, dan kenangan ini tak ditulis, entah waktu akan mengingatnya atau tidak. Jadi, biarkanlah saya menulis dan selamat membaca.

    Diposkan pada Bahasa & Sastra Indonesia, Kisahku, Puisi

    Salam dari Atas Langit Eropa


    Kulihat awan dari tempat dudukku
    Sayap kanan menembus menerpa awan-awan itu
    Lalu kulihat ke bawah

    Mataku memang tak dapat melihatmu
    tapi hatiku, ya!
    Kamu masih di sana
    di tempat kau berdiri saat ini

    Jarak tak menjauhkan kita
    Hanya tanah pijakan yang berbeda

    Lalu kulihat

    Kerajaan langit melambaikan tangan sebagai salam …

    “Sampai jumpa kembali,” katanya.

    “Nanti kita bercengkrama lagi dalam pertemuan berikutnya,” begitu sambungnya.

    Perjalanan ini
    tidak menjauhkan atau memisahkan siapapun,
    justru mendekatkan kita yang sebelumnya tak saling kenal
    mendekatkan kita yang sebelumnya tak punya alasan untuk saling menyapa
    mendekatkan kita, tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara batin

    Ini bukan perpisahan, ini adalah…

    SAMPAI BERTEMU LAGI, KAWAN!

    Dari atas langit Eropa, 31 Agustus 2018

    Robita

    Diposkan pada Kisahku, Puisi

    Aku Ingin Katamu


    Kangmas,
    ah maaf
    terlalu dini untuk memanggilmu dengan sebutan itu

    Wahai adam
    aku tahu
    kita sedang sama-sama
    dalam penantian
    kau dengan impianmu
    aku dengan impianku

    aku tahu
    kita sama-sama memperhatikan
    walau tak ada kata terucap

    jempolmu mungkin berarti segalanya bagimu
    tapi sulit untuk kupahami

    aku perlu satu hal saja
    k a t a

    untukmu yang belum tentu membaca kata-kata ini
    aku perlu kata
    bukan tanda

    salam.

    Bandung, 16 Oktober 2018
    Robita

    Diposkan pada artikel, Kisahku, Opini

    (Opini) Rumput Tetangga Selalu Tampak Lebih Hijau


    IMG_5900Rabu siang waktu Jerman. Kali ini aku menulis cerita dalam kereta. Karena bosan, kutengok beberapa kali laman media sosialku. Tak mengherankan, isinya adalah tentang teman-temanku dan anak-anaknya yang baru lahir. Lalu, kubaca beberapa komentar di bawah foto tersebut. Banyak ucapan selamat dan banyak doa yang ditujukan kepada si bayi dan ayah ibunya.

    Sekilas tak ada masalah. Ya, tidak ada masalah sama sekali. Tapi, setan dalam pikiranku muncul lagi. “Kapan ya aku menjadi orang tua dengan anak-anak yang lucu dan baik?”

    Sialan! Kenapa pertanyaan seperti itu muncul lagi?

    Ah, sudahlah. Rumput tetangga memang selalu tampak lebih hijau daripada rumputku sendiri. Dan aku yakin, rumputku tampak lebih hijau bagi teman-temanku. Menyilaukan kalau kita terus-menerus melihat kebahagiaan orang lain tanpa bersyukur dengan nikmat dan anugerah yang Tuhan berikan untuk diri sendiri.

    “Tidak perlu cemburu dengan kebahagiaan orang lain. Kebahagiaanmu adalah yang terbaik yang pernah Tuhan berikan. Perjalanan hidupmu adalah yang termenarik yang pernah kamu jalani. Teman-teman yang kau temui di luar zona nyamanmu adalah teman-teman luar biasa. Jadi, bersyukurlah dengan pemerolehan hidup yang kamu jalani!” Tiba-tiba terdengar bisikan malaikat dalam hati untuk menenangkan otak dan hatiku yang sedang cemburu dengan kebahagiaan orang lain.

    “Setiap orang punya jalan hidupnya masing-masing. Pertemuan dengan jodoh, mendapat keturunan, karier yang meningkat, semua itu ada waktunya masing-masing. Yang perlu kita lakukan saat ini hanyalah menikmati hidup, bersyukur dengan apa yang kita punya, dan tersenyumlah kepada orang-orang tersayang di sekitarmu.” Sekali lagi suara itu berbisik dalam kalbuku.

    Oke, kuputuskan untuk menikmati hidupku dengan bahagia. Tak perlu cemburu dengan apa yang orang lain miliki karena jalan yang kutempuh berbeda dengan jalan yang mereka tempuh. Petualangan hidup yang kutempuh juga berbeda dengan dengan petualangan yang pernah mereka hadapi. Aku hanya perlu mempersiapkan diri dengan pos berikutnya yang akan kutemui dalam perjalanan hidup ini. Ku pastikan pos-pos berikutnya mempunyai segudang hal yang akan membuatku bahagia.

    Dalam kereta di Jerman, 15 Agustus 2018
    Robita

    Diposkan pada artikel, Kisahku, Opini

    Insel Mainau Konstanz


    Konstanz adalah kota wisata, setidaknya itu yang saya lihat dan apa yang orang-orang di sekitar saya katakan.

    Ada banyak daya tarik wisata di kota ini. Beberapa di antaranya adalah wisata di daerah kota tua Konstanz, Bodensee (Danau Konstanz), sungai Rhein, taman di dekat Konzilstraße, dan pastinya Insel Mainau (Pulau Mainau).

    Di Insel Mainau ada rumah kupu-kupu, tanaman-tanaman yang telah didesain membentuk burung-burung, bunga yang tersenyum, dan sebagainya. Bagi saya, rumah kupu-kupu tidak menarik. Biasa saja. Terlebih lagi suhunya panas, sama seperti di Indonesia. Akan tetapi, kupu-kupu sangat menarik bagi orang Jerman.

    Selain rumah kupu-kupu, ada juga tempat menarik lainnya seperti kastil, rumah bunga tropis, dan pemandangan indah dengan bunga-bunga yang cantik. Lihatlah foto-foto saya berikut ini.

    Kupu-kupu di rumah kupu-kupuBunga yang didesain menyerupai burung Merak Kastil di Insel Mainau

    Dilihat dari bawah

    Dilihat dari atas

    Ini hanya beberapa tempat dari Insel Mainau yang berhasil saya dokumentasikan. Saya tidak sempat mengambil foto di tempat lainnya karena baterai ponsel saya habis. Selain itu, Insel Mainau cukup luas. Perlu waktu seharian untuk menelusuri setiap sudut Insel Mainau.

    Tiket masuk ke tempat ini adalah 12€ untuk pelajar atau mahasiswa dan 21€ untuk orang dewasa. Cukup mahal!Dari Konstanz, kita dapat naik bus 4/13. Saya sarankan Anda naik bus ini dari halte Sternenplatz agar tidak memakan waktu lama untuk sampai di Mainau. Kalau Anda naik bus dari Bahnhof, waktu tempuh ke Mainaunya menjadi lebih lama. Tentu Anda tidak ingin berlama-lama di dalam bus, kan? 😁


    Konstanz, 30 April 2018

    Robita

    Diposkan pada artikel, Kisahku

    Menulis Impian di Atas Kertas


    Hai pembaca budiman, kembali saya ingin berbagi cerita. Kali ini tentang mimpi, impian, keinginan, cita-cita, atau apapun itu dalam istilah kalian.

    Beberapa menit yang lalu saya membuka akun facebook saya dan menghapus beberapa foto profil yang ada di sana. Sebenarnya, setiap kali melihat foto di facebook saya ingat tentang momen yang diwakilkan oleh foto tersebut. Sengaja tidak saya hapus karena saya ingin mengingat momen tersebut, juga ingin melihat tampang saya yang dulu, saat belum mengenal kosmetik dan cara berias.

    Setelah itu, saya melihat salah satu foto dalam album foto profil saya. Lalu, saya kaget karena ada tulisan di belakang saya. Saya perbesar, lalu saya screen capture foto itu.

    Robita

    Dalam foto tersebut, terlihat ada tulisan “Targetku: jadi DUTA BAHASA”.

    Duta bahasa adalah sebuah ajang pemilihan sosok duta dalam bidang bahasa. Biasanya, orang-orang yang mengikuti ajang ini berusia 18-25 tahun. Saat itu usia saya 22 tahun. Saya ingat, saya ingin sekali mengikuti ajang tersebut, tetapi karena salah satu syaratnya adalah harus warga Jawa Barat, dibuktikan dengan KTP, saya mundur dan tidak mengikuti ajang tersebut. KTP saya bukan KTP Jawa Barat karena saya berasal dari Jawa Tengah. Sayang sekali!

    Saya mundur, tetapi hati saya sangat ingin mengikuti ajang tersebut. Akhirnya saya menulis bahwa saya ingin menjadi seorang duta bahasa walaupun saya tidak mengikuti ajang pemilihan duta bahasa. Dalam benak saya, untuk menjadi duta bahasa, ilmu dan perilaku adalah adalah dua hal utama yang harus dimiliki. Dan saya memilikinya. Saya kuliah di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan saya peduli dengan bahasa Indonesia. Saya selalu berusaha untuk memublikasikan kosakata-kosakata standar berdasarkan KBBI kepada orang-orang terdekat saya. Dengan begitu, tanpa selempang atau samir “Duta Bahasa”, saya telah menjadi duta bahasa versi saya sendiri.

    Waktu terus berlalu. Keinginan untuk mengikuti ajang duta bahasa sudah tidak sekuat dulu.

    Sampailah saya di tahun 2016. Saya bertemu kembali dengan ajang pemilihan Duta Bahasa Jawa Barat (Dubas Jabar). Saya sudah tidak tertarik untuk mengikutinya. Selain itu, usia saya juga sudah 25 tahun lebih 5 bulan. Saya yakin saya tidak memenuhi syarat untuk menjadi peserta dalam ajang Dubas Jabar. Namun, teman-teman saya menyarankan saya untuk mencoba mengikuti ajang tersebut.

    “Coba saja, Bit, hadiahnya lumayan loh!” kata teman saya.

    “Iya, coba saja, Bit! Ini bukan perkara menang atau kalah, tetapi melalui ajang ini kamu bisa memberikan kontribusi lebih banyak terhadap bahasa Indonesia,” tambah teman saya yang lain.

    Akhirnya, saya mengikuti ajang pemilihan Dubas Jabar 2016. Saya tidak banyak berharap, tetapi saya tetap melakukan yang terbaik.

    Jika kamu melakukan sesuatu, lakukan dengan maksimal! Jangan setengah-setengah!

    Itu adalah moto saya. Tidak setengah-setengah dalam melakukan apapun.

    Hasil dari ajang pemilihan Duta Bahasa Jawa Barat pada tahun 2016, saya keluar sebagai juara kedua. Wow! Saya tidak menduga akan hal ini. Ini kejutan bagi saya.

    Benar kata teman saya, setelah selesai mengikuti ajang pemilihan duta bahasa, saya mendapat banyak teman baru, pengalaman baru, dan salah satu hadiahnya dapat saya bawa pulang.

    Namun, bukan tentang ajang pemilihan duta bahasa yang sebenarnya ingin saya sampaikan di sini. Itu hanya salah satu contoh dari wujud nyata tulisan saya.

    Dulu, saya memang suka menuliskan keinginan saya di secarik kertas, lalu saya tempel di tembok kamar kosan saya. Saya biarkan tulisan itu menempel di sana sebagai pengingat dan target untuk diwujudkan. Beberapa teman yang berkunjung ke kos saya selalu membaca tulisan tersebut. Ada banyak hal yang saya inginkan, tetapi tidak dapat saya lakukan waktu itu. Akhirnya, saya hanya menuliskannya di atas kertas, lalu saya tempel di tembok. Saya berharap, teman-teman yang membaca tulisan saya itu akan ikut mendoakan agar daftar keinginan/impian saya itu terwujud.

    Sejauh yang saya ingat, beberapa hal yang saya tulis dan telah menjadi kenyataan yaitu:

    1. pergi ke Australia selama satu tahun, terwujud di tahun 2015;
    2. lulus kuliah S1 tepat waktu dengan predikat cum laude, ya berhasil (2009-2013) dengan IPK 3,74;
    3. menjadi duta bahasa, terwujud di tahun 2016;
    4. berkecimpung di dunia BIPA (officially sejak turut hadir dalam Lokakarya Kurikulum BIPA di Yogyakarta pada bulan November 2014);
    5. menjadi vokalis dalam pertunjukan Kabumi, terwujud di bulan April 2017 dalam acara “Opera Musik Angklung Ciungwanara”;
    6. menjadi guru BIPA yang dikirimkan ke luar negeri, terwujud di tahun 2018.

    Itu yang saya ingat. Saya yakin masih ada beberapa hal lain yang telah terwujud, tetapi saya tidak ingat untuk saat ini.

    Intinya, saya tidak menyangka bahwa daftar keinginan yang dulu saya tulis di atas secarik kertas, satu per satu telah terwujud walaupun tidak di waktu saya sama. Saya bersyukur atas semua ini.

    Nikmat Allah sungguh tiada tara. Subhanallah walhamdulillah.

    Melalui artikel ini, saya ingin menyampaikan kepada pembaca blog saya, juga orang lewat yang kebetulan mampir di blog saya, bahwa jangan menyerah dengan mimpi-mimpimu walaupun terasa sulit untuk diwujudkan. Tulis saja di atas kertas, tempel di dinding kamarmu, biarkan menjadi pengingat agar kamu selalu punya semangat dan target untuk dicapai, jangan lupa berdoa dan berusaha, lalu sisanya biarkan Tuhan yang bekerja.

    Itu saja yang dapat saya ceritakan untuk saat ini. Terima kasih telah mengunjungi blog saya. Jangan lupa klik berlangganan atau subscribeagar selalu mendapat pemberitahuan mengenai artikel dan cerita terbaru saya.

    Salam hangat dari Jerman,
    Robita
    (Konstanz, 27 April 2018)

    Diposkan pada artikel, Bahasa & Sastra Indonesia

    Surat untuk Ibu Kartini


    Sebagaimana surat-surat yang biasa aku buat, kubuka surat ini dengan salam, assalamualaikum warakhmatullahi wabarakatuh.

    Ibu, pada hari ini, 20 April 2018, aku ingin menyampaikan sesuatu untukmu. Aku telah membaca beberapa suratmu yang kini telah dibukukan dan dibahasaindonesiakan dengan baik -oleh mereka yang kuyakini sebagai salah satu pengagum beratmu-.

    Ibu, dalam salah satu suratmu, engkau menulis menulis bahwa engkau ingin sekali pergi ke Eropa. Dapat kubayangkan, betapa terkungkungnya dirimu kala itu.

    Ibu, hari ini kusampaikan, melalui jasadku ini, cita-citamu itu telah terpenuhi. Aku, seorang gadis Indonesia, sama sepertimu, Bu. Hari ini aku berdiri di bumi Eropa, tepatnya di Jerman, membawa nama Indonesia. Walau bukan tanah Belanda yang kujejak, tapi Jerman juga Eropa.

    Ibu, aku sangat mengidolakan salah seorang yang jenius asal Indonesia, namanya Pak Habibie. Beliau dulu sekolah di negeri ini, Jerman. Aku sangat senang ketika kesempatan itu datang seperti pelangi pasca-hujan. Kalau kedatangan Pak Habibie ke Jerman adalah untuk studi, kedatanganku ke sini adalah untuk mengajar. Ya, aku datang ke sini sebagai dosen tamu untuk kelas Bahasa Indonesia di Konstanz University of Applied Sciences. Nanti aku ceritakan selengkapnya, Bu. Yang jelas,  kegiatanku di sini adalah sebagai wujud nyata dari Undang Undang No.24 Tahun 2009, pasal 44 ayat (1).

    Oh ya, Bu, di sini aku juga bertemu dengan seorang perempuan Eropa, dia sangat baik. Memang bukan Stella, teman yang sering kau kirimi surat, tetapi dia perempuan lain. Dia perempuan Swiss, Bu. Aku pernah menceritakan tentangmu kepadanya dan dia sangat penasaran tentang dirimu. Sayangnya buku berisi surat-suratmu itu belum tersedia dalam bahasa Jerman.

    Ibu, kalau aku boleh menebak, tentu, besar keinginanmu untuk dapat pergi ke Eropa dan mendapat banyak pengalaman baru. Ibu, entah bagaimana tapi seolah eksistensiku di sini adalah untuk mewakili kehadiranmu. Aku datang ke bumi Eropa untuk mengenalkan dan mengajarkan bahasa Indonesia kepada mereka, mahasiswa Eropa. Bahasa Indonesia saat ini sedang diajarkan di banyak negara di dunia, Bu. Aku hanyalah salah satu dari pengajar bahasa Indonesia yang dikirimkan ke luar negeri oleh pemerintah Indonesia.

    Aku ingin bercerita sedikit mengenai kegiatanku di sini, Bu, tidak keberatan, kan?

    Jadi begini, Bu, pemerintah Indonesia, tepatnya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui Pusat Pengembangan Strategi Diplomasi dan Kebahasaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, menyelenggarakan program pengiriman pengajar BIPA ke luar negeri. Program ini sudah berjalan selama beberapa tahun belakangan ini. BIPA itu sendiri adalah singkatan dari Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing. Jadi, Bu, hari ini bahasa Indonesia tidak hanya dipelajari dan diperlukan oleh orang Indonesia, Bu, tetapi juga oleh orang lain dari negara lain. Tidakkah kau bangga dengan bahasa dan bangsa ini, Bu?

    Oh ya, Bu, sekarang perempuan Indonesia sudah memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Perjuanganmu melalui tulisan-tulisan yang kau kirimkan kepada teman-temanmu di Eropa telah memberikan dampak terhadap perempuan Indonesia di masa sekarang. Banyak perempuan Indonesia sukses dan bahkan lebih hebat daripada laki-laki. Tapi, aku tak ingin membicarakan dan membandingkan antara siapa yang paling hebat. Seperti yang kau tulis dalam suratmu, tujuanmu menginginkan hak yang sama dengan laki-laki adalah bukan untuk menyaingi laki-laki, melainkan untuk mendapat manfaat yang sebanyak-banyaknya bagi kaum perempuan itu sendiri. Aku hanya ingin memberi tahu Ibu bahwa sekarang banyak perempuan Indonesia yang hebat, yang dapat berdiri di kakinya sendiri, mewujudkan cita-citanya, mandiri, dan percaya diri. Aku berharap Ibu bangga dengan perempuan Indonesia era sekarang.

    Satu lagi, Bu, sekarang perempuan Indonesia dapat sekolah setinggi yang mereka mau, sejauh yang mereka mampu, dan meraih cita-cita yang didambakan. Tak sedikit perempuan Indonesia yang kini menjadi orang sukses dalam takaran kesuksesannya masing-masing. Tidakkah kau bangga dengan hal itu, Bu?

    Ibu, surat-suratmu itu tidak hanya memberi kesempatan untuk perempuan Jawa, Bu, tetapi perempuan Indonesia secara keseluruhan. Bukan hanya kesempatan untuk bersekolah, tetapi kesempatan dalam bidang lainnya. Terima kasih kuucapkan atas keberanianmu dalam mengirimkan surat-surat itu. Tanpa surat-surat itu, tentu keadaan kami hari ini tak akan sama.

    Bu, aku ingin bercerita banyak tentang Eropa, tetapi satu suratku ini tampaknya tak akan cukup untuk memuat seluruh pengalamanku (sejauh ini) di Eropa. Bu, di sini, di Jerman saat aku mengetik surat ini, adalah pukul 23.44, Bu. Enam belas menit lagi adalah ulang tahunmu. Selamat ulang tahun, Bu.

    Surat ini tampaknya harus kuakhiri karena akan membuatmu bosan kalau kuteruskan. Satu hal yang ingin kukatakan sebelum kututup surat ini. Aku adalah perempuan Indonesia. Di mana pun aku berada, jiwaku tetap Indonesia, dan jejakku adalah untuk Indonesia. Walau tak banyak yang kulakukan untuk Indonesia, tetapi dalam kesenyapan, tanpa sorotan media, kulakukan semampuku untuk berbuat sesuatu untuk Indonesia. Aku ingin menginspirasi banyak orang atau setidaknya orang-orang terdekat di sekitarku. Semoga aku mampu.

    Akhirnya, kututup suratku ini dengan salam, wassalamualaikum warakhmatullahi wabarakatuh.

    Salam hangat,

    Robita

    Diposkan pada Kisahku

    Orang yang seperti ini yang merusak citra muslim


    Kemarin, Sabtu, 17 Maret 2018, saya pergi jalan-jalan sendirian ke kota Konstanz. Saya berangkat sekitar pukul 14.00 naik bus nomor 6.

    Di tengah perjalanan, sekitar pukul 14.10, terjadi tabrakan antara bus yang saya naiki dengan sebuah mobil. Untungnya saya tidak apa-apa karena di depan tempat duduk saya ada sebuah penghalang. Tapi, sayangnya penumpang yang lain yang mayoritas orang-orang lanjut usia itu ada yang terpental ke depan dan ada yang cedera. Saya juga mendengar tangis anak bayi di bus ini. Semua orang panik dan penasaran dengan apa yang terjadi.

    Pengemudi bus bertanya kepada semua penumpang, “Apakah semuanya baik-baik saja? Ada yang terluka?”

    Sementara itu, di luar bus aku melihat bapak-bapak, mungkin usia 50 tahunan, mendatangi sopir bus dan entah apa yang mereka bicarakan. Minta maaf mungkin.

    Sampai saat itu aku tidak tahu apa yang terjadi, aku tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan. Aku juga tidak mengerti yang ditanyakan oleh sopir bus, tapi bisa dikira-kira sopir bus menanyakan siapa yang mengalami cedera.

    Saat peristiwa terjadi, aku sedang menulis sesuatu di instagram, tentang sebuah kata bijak. Setelah peristiwa tabrakan itu, aku langsung membuat catatan tentang hari ini. Begini isinya.

    Sabtu, 17 Maret 2018

    Pukul 14.10 waktu Jerman

    Siang ini aku naik bus nomor 6. Dalam perjalanan, tiba-tiba bus berhenti. Ternyata ada mobil di depan bus. Aku gak tahu siapa yang menabrak dan siapa yang ditabrak.

    Aku kaget! Lumayan kaget.

    Penumpangnya kebanyakan orang tua.

    Mereka pada ngomongin tentang peristiwa ini sih. Andai aku ngerti, aku pasti tahu siapa korban dan siapa yang menabrak dalam insiden ini. Sayangnya aku gak ngerti.

    Selang 3 menit, 2 mobil ambulan datang dan mengecek penumpang yang cedera. Aku gak kenapa-kenapa sih, jadi aku gak berkata sepatah kata pun. Aku cuma kaget.

    Selang 5 menit kemudian datang lagi 2 mobil medis dan mengecek penumpang. Aku masih diam karena tidak tahu harus bilang apa.

    Selang 1 atau 2 menit kemudian datang mobil polisi.

    Ada beberapa penumpang yang cedera karena benturan yang lumayan keras. Selain itu, mungkin karena faktor usia juga. Soalnya yang muda semuanya baik-baik aja.

    Setelah kejadian itu, aku dan beberapa penumpang lainnya pindah ke bus nomor 6 yang lain, sedangkan beberapa penumpang yang lain memilih jalan kaki menuju tempat tujuan mereka, mungkin karena sudah dekat.

    Di bus yang kedua ini, aku memilih duduk di belakang. Kursi paling belakang. Kubiarkan tempat duduk yang biasa aku pilih diduduki orang-orang lanjut usia. Khawatir terjadi kecelakaan lagi.

    Tiba-tiba seorang penumpang dari bus yang sebelumnya terlihat mengikutiku, dia juga duduk di belakang. Dia terus melihat ke arahku. Aku berusaha untuk tidak ge-er. Untuk apa juga aku ge-er!

    Lalu, dalam sebuah kesempatan dia bertanya, “Kamu gak apa-apa?” Kurang lebih itu yang dia tanyakan dalam bahasa Jerman. Kujawab, “Aku baik-baik saja,” dalam bahasa Inggris.

    Dia bilang dia gak lancar berbahasa Inggris. Aku bilang aku gak bisa berbahasa Jerman. Akhirnya dia mencoba ngobrol denganku dalam bahasa Inggrisnya yang terbatas.

    Dia mengulurkan tangan dan menyebutkan namanya, Mohammed. Dia berasal dari Syria. Artinya, dia pengungsi di sini.

    Dia bilang sudah satu setengah tahun tinggal di sini. Dia bisa berbahasa Arab, Turki, Jerman, dan beberapa bahasa dari Timur Tengah. Di sini dia tinggal bersama ibu, saudara perempuan, dan saudara laki-lakinya. Tapi dia tidak tinggal dengan mereka. Ingin mandiri mungkin. Mungkin!

    Kujabat tangannya dengan menyebut namaku, Robita. Dalam hati aku berkata, “Aneh! Kalau memang dia seorang muslim yang paham ajaran Islam, dia tidak akan mungkin mengulurkan tangan untuk berkenalan. Ah, tapi mungkin saja dia sudah menyesuaikan diri dengan budaya di Jerman.”

    Setelah perkenalan itu dia bertanya lagi, “Kamu ada waktu?”

    “Ya,” kujawab.

    “Mau ngopi bareng?”

    “Hm… boleh deh!”

    Ini bukan Robita yang biasanya, yang gak menanggapi orang asing. Mungkin kali ini Robita ingin mencoba pengalaman baru. Apa yang akan terjadi kalau merespons orang asing seperti ini.

    Akhirnya, setelah turun dari bus kami berjalan menuju tempat kopi. Tapi, kemudian dia bertanya lagi, “Robita, kamu lapar?”

    Aku memang belum makan siang sih, jadi kujawab, “Ya, lumayan, tapi gak laper-laper banget!”

    Aku masih berpikiran positif sampai sejauh ini. Mungkin dia ingin berteman denganku, mungkin saja kan?

    Setelah itu, dia membawaku ke sebuah restoran kecil di kota tua dengan nama Ali Baba. Dia memesankan kebab untukku. Duh, gue kan gak suka kebab! Porsinya itu loh! Tapi akhirnya ku makan juga kebab itu. Sedikit! Aku gak sanggup makan banyak kebab!

    Setelah dia membayar makanan, aku bilang mau ke Müller, sebuah toko di kota tua. Aku ingin membeli beberapa kosmetik yang katanya lagi diskon. Hehe…

    Dia menemani aku sampai ke toko itu. Pada waktu naik lift, dia nempel banget! Beneran nempel seolah di tangga itu memang penuh dengan orang, padahal tidak. Aku tidak nyaman dengan hal itu, jadi aku naik satu tangga. Dalam pikiranku aku berkata, “Ngeselin! Ngapain sih nempel-nempel!”

    Aku bisa melihat gelagatnya yang menunjukkan ketertarikan terhadapku. Tapi, hey… kita baru ketemu, itu tidak sopan tahu!

    Aku tidak jadi membeli banyak barang di Müller. Gak enak diikuti cowok yang baru dikenal. Akhirnya aku hanya membeli 1 barang. Lalu, pada saat aku mau bayar di kasir, aku mencoba menemukan koin euro yang pas, jadi gak perlu kembalian. Eh… tiba-tiba dia bayarin. Ngeselin! Emang gue gak punya duit apa!

    Oke, walaupun aku kesal, aku mencoba berpikiran positif. Mungkin dia ingin akrab denganku. Mungkin!Setelah selesai belanja, dia mengajakku melihat Bodensee.

    Dalam perjalanan menuju Bodensee, dia bertanya lagi, “Robita, boleh aku cium kamu?”

    Anjir… gak sopan banget ini orang. Aku kaget mendengarnya. Langsung aku jawab, “No! No way!”

    Gila banget ya tu cowok! Kucoba bertanya untuk memverifikasi apakah benar dia muslim atau tidak, “Kamu muslim?” tanyaku.

    “Ya, aku muslim, namaku Mohammed,” jawabnya sambil terus mendekatkan jarak denganku.

    Ya Allah, lindungi aku. Aku gak yakin dia beneran muslim. Muslim yang baik tak akan mungkin bertanya seperti itu. Itu sungguh keterlaluan.

    Lalu dia bertanya denga penuh protes, “Kenapa, Robita? Kenapa aku gak boleh cium kamu?”

    “Ya, gak boleh aja! Di Islam gak boleh kaya gitu! Selain itu, aku berasal dari Indonesia. Tidak ada budaya seperti itu di negaraku!” jawabku kesal.

    Sambil terus berjalan menuju Bodensee, aku terus menjaga jarak dengannya dan berkata, “Pokoknya aku gak mau dicium kamu! No way! Gak perlu ada alasan! Aku gak mau, pokoknya gak mau!”

    “Kenapa? Masalahnya apa gitu?” dia terus bertanya dan merengek.

    Sesampainya di Bodensee, kami duduk bersama. Sejauh itu aku masih berusaha untuk menahan diri dan menghormati niatannya untuk berteman denganku. Tapi, aku pikir ini akan menjadi sebuah kebodohan yang nyata kalau aku terus mengikuti dia dan terus memberinya waktu untuk berbicara denganku.

    Ketika duduk itu, jarinya berusaha menggapai wajahku. Aku menghindar.

    “Kamu Beneran muslim? Kamu Beneran belajar tentang Islam?” tanyaku.

    “Ya, namaku Mohammed, aku beragama Islam juga, sama sepertimu,” jawabnya.

    Orang seperti ini yang merusak citra Islam dan pemeluk Islam. Ingin sekali rasanya aku berkata kasar, tapi kutahan.

    Setelah terus-menerus bertanya mengapa dia tidak boleh menciumku, aku mengambil sebuah tindakan berani. Ya, menurutku itu tindakan yang cukup berani.

    “Maaf, sepertinya aku harus pulang. Percuma juga aku menjelaskan ini dan itu. Kamu gak akan ngerti. Lagian aneh aja, kamu seorang muslim tapi kamu ingin mencium seseorang yang bukan mukhrim untukmu,” kataku.

    “Tapi, Robita, aku mencintaimu,” jawabnya sambil menyilangkan kedua tangannya di dadanya.

    Anjir, ini orang gila atau gimana ya? Baru juga ketemu udah bilang cinta! Sorry, aku tidak semudah itu untuk kau dapatkan. Aku juga bukan tipe orang yang akan jatuh cinta pada pandangan pertama. No way!

    No, I have to go!” jawabku.

    “Kamu mau simpan nomorku?” tanya dia lagi.

    “Gak perlu,” jawabku. Lalu aku membalikkan badan dan berjalan menjauhinya.

    Ya Allah, kok ada orang macam itu ya? Kalau memang dia seorang muslim, apalagi dari negara muslim, gak akan mungkin dia akan seperti itu. Dengan membawa nama Muhammad, dia tidak hanya merusak citra Islam, tetapi juga mencemarkan nama baik Nabi Muhammad SAW! Geram, aku sungguh geram!

    ***

    Teruntuk pembaca blog-ku, melalui pengalamanku ini aku ingin sampaikan kepada kalian, khususnya teman-teman Indonesiaku, berhati-hatilah dengan mereka yang mengaku seorang muslim. Bukan suudzon ya, tapi berhati-hati. Nyatanya, tidak semua bule muslim itu baik. Dan, aku mendapat informasi bahwa sejak banyaknya pengungsi dari Timur Tengah yang datang ke Jerman, katanya banyak terjadi pemerkosaan di sini, juga pelecehan seksual. Entah ini benar atau tidak, tapi kalian bisa mengecek ulang informasi ini kepada relasi kalian di Jerman (kalau ada).

    Mulai sekarang, kita harus berhati-hati terhadap orang asing. Jangan terbuai dengan wajah dan status lisan dia yang menyatakan dirinya seorang muslim, jangan! Hati-hati ya!

    Sekarang aku masih agak takut keluar sendirian, walaupun siang hari. Takut bertemu orang itu lagi atau orang yang seperti itu lagi.

    Diposkan pada Bahasa & Sastra Indonesia

    Boots-ku Jebol (Lagi)


    Hari ke-6 di Jerman. Cuaca cukup cerah hari ini. Tapi, melihat boots yang sudah kubawa dari tanah air, yang sebenarnya dibeli di negeri kanguru dan sudah mendekam di lemari selama kurang lebih 2 tahun, kupakai juga hari ini.

    Yap! Si boots yang dari permukaan luar sudah semi berjamur, tetapi masih bagus di bagian dalam itu aku pakai hari ini. Cuaca cerah tak menghalangiku. Dalam pikiranku aku berkata, “Bodo amat, Bit! Orang bule kan pada cuek, gak akan komen juga mereka!”

    Haha… dan akhirnya kupakai si boots andalanku itu.

    Cerita punya cerita, sebenarnya boots ini adalah boots kedua, tapi boots yang sama. Bingung? Oke, jadi begini ceritanya…

    Di pertengahan musim dingin di Australia, saat dua temanku sudah bergaya dengan boots andalan masing-masing, aku masih belum punya boots. Aku masih mengandalkan si Nike-ku, sebuah running shoes. Tapi, rasanya “ateul” gak pake boots kaya teman-temanku. Hahaha… Akhirnya, dalam sebuah perjalanan menuju pusat Kota Melbourne, aku dan teman-temanku mampir ke beberapa toko di Jalan Sydney di Melbourne. Di sanalah aku menemukan boots ini. Boots berwarna coklat dengan bulu-bulu halus di dalamnya. Harganya sekitar 70$ Australia. Itupun sudah mendapat diskon.

    Nah, dengan bangganya boots itu aku pakai ke salah satu pusat perbelanjaan di Melbourne dan dalam kesempatan lain aku pakai ke Healesville Sanctuary. Dua kali dipakai dalam waktu kurang dari seminggu. Kulihat bagian belakang boots-ku jebol. Hal ini aku ketahui setelah pulang dari Healesville Sanctuary.

    Berhubung di Australia ada peraturan boleh menukar barang yang sudah dibeli dengan menunjukkan struk pembelian, kubawa boots itu ke toko di Jalan Sydney, Melbourne. Aku bilang bahwa aku membelinya sekitar 5 hari yang lalu dan aku baru memakainya 2 kali. Aku tinggal jauh dari sini, jadi untuk sampai ke toko ini perlu waktu yang “tumaninah”. Aku berusaha menjelaskan keadaanku dan keinginanku kepada si penjual.

    Ternyata orang yang menjual boots di toko yang luasnya seluas Indomaret itu bilang bahwa dia bukan pemilik toko ini. Aku gak mau tahu juga ya, yang pasti aku beli boots ini di toko ini. Aku membawa bukti yang jelas, struk belanja.

    Setelah diplomasi yang cukup alot, akhirnya dia bilang, “Oke, tunggu sebentar ya, saya tanyakan ke bos dulu.”

    Aku menunggu dengan memasang wajah yang agak tegas, bukan wajah penuh senyum seperti biasanya. Hehe…

    Setelah sekitar 10-15 menit, datanglah si pelayan toko dengan membawa kabar dari bosnya. Dia bilang, “Oke bisa ditukar. Nomor berapa?”

    “Nomor 7,” kataku. Nomor 7 kalau di Indonesia sama saja dengan nomor 38. Sebenarnya aku lebih nyaman pakai nomor 7,5 alias nomor 39, tapi gak ada coy! Ya udah, berhubung nomor 7 muat, jadinya pakai nomor 7.

    Singkat cerita, setelah berhasil menukar boots-ku yang seumur jagung itu dan mendapat boots yang baru, aku pulang ke Alexandra. Aku pulang dengan wajah gembira.

    Tapi, selang beberapa hari musim dingin selesai, berganti ke musim semi. “Yaaahh… boots, kamu gak bisa ku pakai! Terlebih-lebih aku juga punya boots baru yang lebih praktis dan dapat dipakai dalam cuaca apapun.”

    Akhirnya kusimpan boots itu. Aku berharap Allah memberiku kesempatan untuk berkunjung ke negara subtropis dan berkesempatan memakai boots itu lagi.


    2018, aku mengunjungi Eropa, tepatnya Jerman, di akhir musim dingin.

    “Yes! Aku bisa pakai boots ini lagi!” kataku gembira.

    Eh belum genap 2 hari aku sampai di Jerman, salju telah mencair dan itu adalah pertanda musim dingin berakhir.

    “Ya Allah… kok sedih ya, jauh-jauh dari Indonesia bawa boots. Boots-nya dibeli di Australia, belum sempat dipakai karena musim dinginnya selesai, eh… giliran sekarang dapat musim dingin cuma sehari.”

    Sedih!

    Tapi, hari ini, di hari ke-6 ini kuputuskan untuk memakai boots itu kembali. Bodo amat dengan apa yang orang pikirkan tentang penampilanku. Hahaha…

    Aku menjalani hariku seperti biasanya. Datang ke kantor, duduk, kulepas boots-ku dan diganti dengan sandal sejenis sandal hotel, lalu mulai mengerjakan tugas di komputer.

    Sorenya aku pulang naik bus. Tak lupa kupakai boots itu sebelum keluar dari ruang kantor. Setelah keluar dari kantor, aku langsung baik bus nomor 2 dan berdiri selama kurang lebih 5 menit, selebihnya aku lebih memilih duduk.

    Setelah sampai di halte tujuan, Wollmatingen, aku berjalan menuju rumah. Sesampainya di rumah, kulepas boots itu. Nah, di sinilah aku baru sadar bahwa bagian belakang boots-ku jebol lagi! Sama seperti dulu, waktu baru 2 kali dipakai.

    Bye bye boots!

    Jadi, aku ada alasan untuk beli boots yang baru, kalau ada uangnya. Hehehe…